Rabu, 09 Februari 2011

putus nya perceraian


Arti Perceraian
Perceraian dalam istilah ahli Figh disebut “talak” atau “furqah”. Talak berarti membuka ikatan membatalkan perjanjian, sedangkan “furqah” berarti bercerai (lawan dari berkumpul). Lalu kedua kata itu dipakai oleh para ahli Figh sebagai satu istilah, yang berarti perceraian antara suami-isteri.
Perkataan talak dalam istilah ahli Figh mempunyai dua arti, yakni arti yang umum dan arti yang khusus. Talak dalam arti umum berarti segala macam bentuk perceraian baik yang dijatuhkan oleh suami, yang ditetapkan oleh hakim, maupun perceraian yang jatuh dengan sendirinya atau perceraian karena meninggalnya salah seorang dari suami atau isteri. Talak dalam arti khusus berarti perceraian yang dijatuhkan oleh pihak suami.
Karena salah satu bentuk dari perceraian antara suami-isteri itu ada yang disebabkan karena talak maka untuk selanjutnya istilah talak yang dimaksud di sini ialah talak dalam arti yang khusus.
Meskipun Islam menyukai terjadinya perceraian dari suatu perkawinan. Dan perceraian pun tidak boleh dilaksanakan setiap saat yang dikehendaki. Perceraian walaupun diperbolehkan tetapi agama Islam tetap memandang bahwa perceraian adalah sesuatu yang bertentangan dengan asas – asas Hukum Islam.
2. Sebab-sebab Putusnya Hubungan Perkawinan
Yang menjadi sebab putusnya perkawinan ialah:
1. Talak
2. Khulu’
3. Syiqaq
4. Fasakh
5. Ta’lik talak
6. Ila’
7. Zhihar
8. Li’aan
9. Kematian
2.1. Talak
2.1.1. Hak Talak
Hukum Islam menentukan bahwa hak talak adalah pada suami dengan alasan bahwa seorang laki-laki itu pada umumnya lebih mengutamakan pemikiran dalam mempertimbangkan sesuatu daripada wanita yang biasanya bertindak atas dasar emosi. Dengan pertimbangan yang demikian tadi diharapkan kejadian perceraian akan lebih kecil, kemungkinannya daripada apabila hak talak diberikan kepada isteri. Di samping alasan ini, ada alas an lain yang memberikan wewenang/hak talak pada suami, antara lain:
a. Akad nikah dipegang oleh suami. Suamilah yang menerima ijab dari pihak isteri waktu dilaksanakan akad nikah.
b. Suami wajib membayar mahar kepada isterinya waktu akad nikah dan dianjurkan membayar uang mu’tah (pemberian sukarela dari suami kepada isterinya) setelah suami mentalak isterinya.
c. Suami wajib memberi nafkah isterinya pada masa iddah apabila ia mentalaknya.
d. Perintah-perintah mentalak dalam Al-Quran dan Hadist banyak ditujukan pada suami.
2.1.2. Syarat-syarat menjatuhkan Talak
Seperti kita ketahui bahwa talak pada dasarnya adalah sesuatu yang tidak diperbolehkan/dibenarkan, maka untuk sahnya harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat itu ada pada suami, isteri, dan sighat talak.
a. Syarat-syarat seorang suami yang sah menjatuhkan talak ialah:
· Berakal sehat
· Telah baliqh
· Tidak karena paksaan
Para ahli Fiqh sepakat bahwa sahnya seorang suami menjatuhkan talak ialah telah dewasa/baliqh dan atas kehendak sendiri bukan karena terpaksa atau ada paksaan dari pihak ketiga. Dalam menjatuhkan talak suami tersebut harus dalam keadaan berakal sehat, apabila akalnya sedang terganggu. Misalnya: orang yang sedang mabuk atau orang yang sedang marah tidak boleh menjatuhkan talak. Mengenai talak orang yang sedang mabuk kebanyakan para ahli Fiqh berpendapat bahwa talaknya tidak sah, karena orang yang sedang mabuk itu dalam bertindak adalah di luar kesadaran. Sedangkan orang yang marah kalau menjatuhkan talak hukumnya dalah tidak sah. Yang dimaksud marah di sini ialah marah yang sedemikian rupa, sehingga apa yang dikatakannya hamper-hampir di luar kesadarannya.
b. Syarat-syarat seorang isteri supaya sah ditalak suaminya ialah:
· Isteri telah terikat denagn perkawinan yang sah dengan suaminya. Apabila akad-nikahnya diragukan kesahannya, maka isteri itu tidak dapat ditalak oleh suaminya.
· Isteri harus dalam keadaan suci yang belum dicampuri oleh suaminya dalam waktu suci itu.
· Isteri yang sedang hamil.
c. Syarat-syarat pada sighat talak
Sighat talak ialah perkataan/ucapan yang diucapkan oleh suami atau wakilnya di waktu ia menjatuhkan talak pada isterinya. Sighat talak ini ada yang diucapkan langsung, seperti “saya jatuhkan talak saya satu kepadamu”. Adapula yang diucapkan secara sindiran (kinayah), seperti “kembalilah ko orangtuamu” atau “engkau telah aku lepaskan daripadaku”. Ini dinyatakan sah apabila:
· Ucapan suami itu disertai niat menjatuhkan talak pada isterinya.
· Suami mengatakan kepada Hakim bahwa maksud ucapannya itu untuk menyatakan talak kepada isterinya. Apabila ucapannya itu tidak bermaksud untuk menjatuhkan talak kepda isterinya maka sighat talak yang demikian tadi tidak sah hukumnya.
Mengenai saat jatuhnya talak, ada yang jatuh pada saat suami mengucapkan sighat talak (talak “munziz”) dan ada yang jatuh setelah syarat-syarat dalam sighat talak terpenuhi (talak “muallaq”).
2.1.3. Macam-macam Talak
a. Talak raj’i adalah talak, di mana suami boileh merujuk isterinya pada waktu iddah. Talak raj’i ialah talak satu atau talak dua yang tidak disertai uang ‘iwald dari pihak isteri.
b. Talak ba’in, ialah talak satu atau talak dua yang disertai uang ‘iwald dari pihak isteri, talak ba’in sperti ini disebut talak ba’in kecil. Pada talak ba’in kecil suami tidak boleh merujuk kembali isterinya dala masa iddah. Kalau si suami hendak mengambil bekas isterinya kembali harus dengan perkawinan baru yaitu dengan melaksanakan akad-nikah. Di samping talak ba’in kecil, ada talak ba’in besar, ialah talak yang ketiga dari talak-talak yang telah dijatuhkan oleh suami. Talak ba’in besar ini mengakibatkan si suami tidak boleh merujuk atau mengawini kembali isterinya baik dalam masa ‘iddah maupun sesudah masa ‘iddah habis. Seorang suami yang mentalak ba’in besar isterinya boleh mengawini isterinya kembali kalau telah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
· Isteri telah kawin dengan laki-laki lain.
· Isteri telah dicampuri oleh suaminya yang baru.
· Isteri telah dicerai oleh suaminya yang baru.
· Talah habis masa ‘iddahnya.
c. Talak sunni, ialah talak yang dijatuhkan mengikuti ketentuan Al-Quran dan Sunnah Rasul. Yang termasuk talak sunni ialah talak yang dijatuhkan pada waktu isteri dalam keadaan suci dan belum dicampuri dan talak yang dijatuhkan pada saat isteri sedang hamil. Sepakat para ahli Fiqh, hukumnya talak suami dalah halal.
d. Talak bid’i, ialah talak yang dijatuhkan dengan tidak mengikuti ketentuan Al-Quran maupun Sunnah Rasul. Hukumnya talak bid’i dalah haram. Yang termasuk talak bid’i ialah:
· Talak yang dijatuhkan pada isteri yang sedang haid atau datang bulan.
· Talak yang dijatuhkan pada isteri yang dalam keadaan suci tetapi telah dicampuri.
· Talak yang dijatuhkan dua sekaligus, tiga sekaligus atau mentalak isterinya untuk selama-lamanya.
2.2. Khuluk
Talak khuluk atau talak tebus ialah bentuk perceraian atas persetujuan suami-isteri dengan jatuhnya talak satu dari suami kepada isteri dengan tebusan harta atau uang dari pihak isteri dengan tebusan harta atau uang dari pihak isteri yang menginginkan cerai dengan khuluk itu.
Adanya kemungkinan bercerai dengan jalan khuluk ini ialah untuk mengimbangi hak talak yang ada pada suami. Dengan khuluk ini si isteri dapat mengambil inisiatif untuk memutuskan hubungan perkawinan dengan cara penebusan. Penebusan atau pengganti yang diberikan isteri pada suaminya disebut juga dengan kata “iwald”.
Syarat sahnya khuluk ialah:
a. Perceraian dengan khuluk itu harus dilaksanakan dengan kerelaan dan persetujuan suami-isteri.
b. Besar kecilnya uang tebusan harus ditentukan dengan persetujuan bersama antara suami-isteri.
Apabila tidak terdapat persetujuan antara keduanya mengenai jumlah uang penebus, Hakim Pengadilan Agama dapat menentukan jumlah uang tebusan itu.
Khuluk dapat dijatuhkan sewaktu-waktu, tidak usah menanti isteri dalam keadaan suci dan belum dicampuri, hal ini disebabkan karena khuluk itu terjadi atas kehendak isteri sendiri.
2.3. Syiqaq
Syiqaq itu berarti perselisihan atau menurut istilah Fiqh berarti perselisihan suami-isteri yang diselesaikan dua orang hakam, satu orang dari pihak suami dan yang satu orang dari pihak isteri.
Menurut Syekh Abdul ‘Aziz Al Khuli tugas dan syarat-syarat orang yang boleh diangkat menjadi hakam adalah sebagai berikut:
a. Berlaku adil di antara pihak yang berpekara.
b. Dengan ikhlas berusaha untuk mendamaikan suami-isteri itu.
c. Kedua hakam itu disegani oleh kedua pihak suami-isteri.
d. Hendaklah berpihak kepada yang teraniaya/dirugikan apabila pihak yang lain tidak mau berdamai.
2.4. Fasakh
Arti fasakh ialah merusakkan atau membatalkan. Ini berarti bahwa perkawinan itu diputuskan/dirusakkan atas permintaan salah satu pihak oleh hakim Pengadilan Agama.
Biasanya yang menuntut fasakh di pengadilan adalah isteri. Adapun alasan-alasan yang diperbolehkan seorang isteri menuntut fasakh di pengadilan:
a. Suami sakit gila.
b. Suami menderita penyakit menular yang tidak dapat diharapkan dapat sembuh.
c. Suami tidak mampu atau kehilangan kemampuan untuk melakukan hubungan kelamin.
d. Suami jatuh miskin hingga tidak mampu memberi nafkah pada isterinya.
e. Isteri merasa tertipu baik dalam nasab, kekayaan atau kedudukan suami.
f. Suami pergi tanpa diketahui tempat-tinggalnya dan tanpa berita, sehingga tidak diketahui hidup atau mati dan waktunya sudah cukup lama.
2.5. Taklik Talak
Arti daripada ta’lik ialah menggantungkan, jadi pengertian ta’lik talak ialah suatu talak yang digantungkan pada suatu hal yang mungkin terjadi yang telah disebutkan dalam suatu perjanjian yang telah diperjanjikan lebih dahulu.
Di Indonesia pembacaan ta’lik talak dilakukan oleh suami setelah akad nikah. Adapun sighat ta’lik talak yang tercantum dalam buku nikah dari Departemen Agama adalah sebagai berikut:
Sewaktu-waktu saya:
a. Meninggalkan isteri saya tersebut enam bulan berturut-turut;
b. Atau saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya;
c. Atau saya menyakiti badan/jasmani isteri saya itu;
d. Atau saya membiarkan/tidak memperdulikan isteri saya itu enam bulan lamanya.
Kemudian isteri saya tidak rela dan mengadukan halnya kepada Pengadilan Agama atau petugas yang diberi hak mengurus pengaduan itu, dan pengaduannya dibenarkan serta diterima oleh Pengadilan atau petugas tersebut dan isteri saya itu membayar uang sebesar Rp …….. sebagai ‘iwald (pengganti) kepada saya, maka jatuhlah talak saya satu kepadanya. Kepada Pengadilan atau petugas tersebut tadi saya kuasakan untuk menerima uang ‘iwald (pengganti) itu dan kemudian memberikannya untuk keperluan ibadah sosial.
Talak satu yang dijatuhkan suami berdasarkan ta’lik, mengakibatkan hak talak suami tinggal dua kali, apabila keduanya kembali melakukan perkawinan lagi.
Kalau kita perhatikan jatuhnya talak dengan ta’lik ini hampir sama dengan khuluk, sebab sama-sama disertai uang ‘iwald dari pihak isteri. Sehingga talak yang dijatuhkan atas dasar ta’lik dianggap sebagai talak ba’in, suami boleh mengambil isterinya kembali dengan jalan melaksanakan akad-nikah baru.
2.6. Ila’
Arti daripada ila’ ialah bersumpah untuk tidak melakukan suatu pekerjaan. Dalam kalangan bangsa Arab jahiliyah perkataan ila’ mempunyai arti khusus dalam hukum perkawinan mereka, yakni suami bersumpah untuk tidak mencampuri isterinya, waktunya tidak ditentukan dan selama itu isteri tidak ditalak ataupun diceraikan. Sehingga kalau keadaan ini berlangsung berlarut-larut, yang menderita adalah pihak isteri karena keadaannya tekatung-katung dan tidak berketentuan.
Berdasarkan Al-Quran, surat Al-Baqarah ayat 226-227, dapat diperoleh ketentuan bahwa:
a. Suami yang mengila’ isterinya batasnya paling lama hanya empat bulan.
b. Kalau batas waktu itu habis maka suami harus kembali hidup sebagai suami-isteri atau mentalaknya.
Bila sampai batas waktu empat bulan itu habis dan suami belum mentalak isterinya atau meneruskan hubungan suami-isteri, maka menurut Imam Abu Hanifah suami yang diam saja itu dianggap telah jatuh talaknya satu kepada isterinya.
Apabila suami hendak kembali meneruskan hubungan dengan isterinya, hendaklah ia menebus sumpahnya dengan denda atau kafarah. Kafarah sumpah ila’ sama dengan kafarah umum yang terlanggar dalam hukum Islam. Denda sumpah umum ini diatur dalam Al-Quran surat Al-Maidah ayat 89, berupa salah satu dari empat kesempatan yang diatur secara berurutan, yaitu:
a. Memberi makan sepuluh orang miskin menurut makan yang wajar yang biasa kamu berikan untuk keluarga kamu, atau
b. Memberikan pakaian kepada sepuluh orang miskin, atau
c. Memerdekakan seorang budak, atau kamu tidak sanggup juga maka
d. Hendaklah kamu berpuasa tiga hari.
Pembayaran kafarah ini pun juga harus dilaksanakan apabila suami mentalak isterinya dan merujuknya kembali pada masa ‘iddah atau dalam perkawinan baru setelah masa ‘iddah habis.
2.7. Zhihar
Zhihar adalah prosedur talak, yang hampir sama dengan ila’. Arti zhihar ialah seorang suami yang bersumpah bahwa isterinya itu baginya sama dengan punggung ibunya. Dengan bersumpah demikian itu berarti suami telah menceraikan isterinya. Masa tenggang serta akibat zhihar sama dengan ila’. Ketentuan mengenai zhihar ini diatur dalam Al-Quran surat Al-Mujadilah ayat 2-4, yang isinya:
a. Zhihar ialah ungkapan yang berlaku khusus bagi orang Arab yang artinya suatu keadaan di mana seorang suami bersumpah bahwa bagi isterinya itu sama denagn punggung ibunya, sumpah ini berarti dia tidak akan mencampuri isterinya lagi.
b. Sumpah seperti ini termasuk hal yang mungkar, yang tidak disenangi oleh Allah dan sekaligus merupakan perkataan dusta dan paksa.
c. Akibat dari sumpah itu ialah terputusnya ikatan perkawinan antara suami-isteri. Kalau hendak menyambung kembali hubungan keduanya, maka wajiblah suami membayar kafarahnya lebih dulu.
d. Bentuk kafarahnya adalah melakukan salah satu perbuatan di bawah ini dengan berurut menurut urutannya menurut kesanggupan suami yang bersangkutan, yakni:
· Memerdekakan seorang budak, atau
· Puasa dua bulan berturut-turut, atau
· Memberi makan 60 orang miskin.
2.8. Li’an
Arti li’an ialah laknat yaitu sumpah yang di dalamnya terdapat pernyataan bersedia menerima laknat Tuhan apabila yang mengucapkan sumpah itu berdusta. Akibatnya ialah putusnya perkawinan antara suami-isteri untuk selama-lamanya.
Proses pelaksanaan perceraian karena li’an diatur dalam Al-Quran syrat An-Nur ayat 6-9, sebagai berikut:
a. Suami yang menuduh isterinya berzina harus mengajukan saksi yang cukup yang turut menyaksikan perbuatan penyelewengan tersebut.
b. Kalau suami tidak dapat mengajukan saksi, supaya ia tidak terkena hukuman menuduh zina, ia harus mengucapkan sumpah lima kali. Empat kali dari sumpah itu ia menyatakan bahwa tuduhannya benar, dan sumpah kelima menyatakan bahwa ia sanggup menerima laknat Tuhan apabial tuduhannya tidak benar (dusta).
c. Untuk membebaskan diri dari tuduhan si isteri juga harus bersumpah lima kali. Empat kali ia menyatakan tidak bersalah dan yang kelima ia menyatakan sanggup menerima laknat Tuhan apabila ia bersalah dan tuduhan suaminya benar.
d. Akibat dari sumpah ini isteri telah terbebas dari tuduhan dn ancaman hukuman, namun hubungan perkawinan menjadi putus untuk selama-lamanya.
2.9. Kematian
Putusnya perkawinan dapat pula disebabkan karena kematian suami atau isteri. Dengan kematian salah satu pihak, maka pihak lain berhak waris atas harta peninggalan yang meninggal.
Walaupun dengan kematian suami tidak dimungkinkan hubungan mereka disambung lagi, namun bagi isteri yang kematian suami tidak boleh segera melaksanakan perkawinan baru dengan laki-laki lain. Si isteri harus menunggu masa iddahnya habis yang lamanya empat bulan sepuluh hari.
3. Iddah
3.1. Arti Iddah
Iddah ialah masa menunggu atau tenggang waktu sesudah jatuh talak, dalam waktu mana si suami boleh merujuk kembali isterinya. Sehingga pada masa iddah ini si isteri belum boleh melangsungkan perkawinan baru dengan laki-laki lain.
3.2. Tujuan dan Kegunaan Masa Iddah
Kegunaan dan tujuan iddah dalah sebagai berikut:
a. Untuk memberi kesempatan berpikir kembali denagn pikiran yang jernih, setelah mereka menghadapi keadaan rumah tangga yang panas dan yang demikian keruhnya sehingga mengakibatkan perkawina mereka putus. Kalau pikiran telah jernih dan dingin diharapkan suami akan merujuk isterinya kembali dan begitu pula si isteri diharapkan jangan menolak rujuk suaminya itu. Sehingga hubungan perkawinan mereka dapat diteruskan kembali.
b. Dalam perceraian karena ditinggal mati suami, iddah ini diadakan untuk menunjukkan rasa berkabung atas kematian suami.
c. Untuk mengetahui apakah dalam masa iddah yang berkisar antara tiga atau empat bulan itu, isteri dalam keadaan mengandung atau tidak. Hal ini penting sekali untuk ketegasan dan kepastian hukum mengenai bapak si anak yang seandainya telah ada dalam kandungan wanita yang bersangkutan.
3.3. Macam-macam Iddah
Di lihat dari sebab terjadinya perceraian, maka iddah dapat dibedakan menjadi dua yaitu:
a. Iddah kematian
Isteri yang ditinggal mati suaminya harus menjalani masa iddahnya sebagai berikut:
· Bagi isteri yang tidak sedang mengandung, iddahnya adalah 4 bulan 10 hari. Ketentuan ini tercantum dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 234, yang berbunyi:
“Orang-orang yang meninggal dunia di antara kamu dengan meninggalkan isteri-isteri, hendaklah isteri-isteri itu menjalani masa iddah selama empat bulan sepuluh hari”.
· Bagi isteri yang sedang mengandung iddahnya adalah sampai melahirkan. Dasarnya adalah Al-Quran syrat At-Talaaq ayat 4, yang bunyinya:
“Isteri yang sedang hamil iddahnya dalah sampai melahirkan kandungan”
b. Iddah talak
Isteri yang bercerai dengan suaminya dengan jalan talak, iddahnya dalah sebagai berikut:
· Untuk isteri yang dicerai dalam keadaan mengandung maka iddahnya adalah sampai melahirkan kandungannya.
· Istri yang masih mengalami haid (menstruasi), iddahnya adalah tiga kali suci; termasuk suci pada saat terjadi talak, asal sebelumnya tidak dilakukan hubungan suami-isteri, sesuai dengan ketentuan surat Al-Baqarah 228.
· Isteri yang tidak pernah atau tidak dapat lagi mengalami haid iddahnya adalah tiga bulan. Ketentuan ini terdapat dalam Al-Quran Surat Al-Talaaq ayat 4.
· Bagi isteri yang belum pernah dikumpuli dan kemudian ditalak, maka menurut ketentuan Al-Quran surat Al-Akrab ayat 49, isteri tersebut tidak perlu menjalani masa iddah. Dan apabila pada waktu akad-nikah belum ditentukan berapa jumlah maskawin yang akan diberikan kepadanya, maka suami yang mentalak itu wajib memberikan sejumlah harta kepada isteri yang di talak sebelum dicampuri itu.
· Perceraian dengan jalan fasakh berlaku juga ketentuan iddah karena talak.
3.4. Kewajiban dan Hak Isteri dalam Masa Iddah
Kewajiban isteri dalam masa iddah ialah harus bertempat tinggal di rumah yang ditentukan oleh suami untuk didiami, sampai masa iddahnya habis. Selama waktu iddah isteri dilarang diusir atau dikeluarkan dari rumah tersebut. Selama masa iddah isteri berhak mendapat nafkah dari suaminya seperti nafkah sebelum terjadi perceraian, yaitu berupa perumahan, makanan dan pakaian.
Bagi isteri yang meninggalkan rumah yang telah ditetapkan tanpa alasan-alasan yang bisa dipertanggung-jawabkan, ia dianggap nusyuz. Isteri yang sudah nusyuz tidak berhak lagi menerima nafkah iddah atau haknya nafkah iddah menjadi gugur.
3.5. Nafkah Setelah Habis Iddah
Wanita yang ditalak suaminya dan masa iddahnya telah habis, ia boleh melakukan perkawinan baru dengan laki-laki lain. Dengan terjadinya perkawinan baru ini, hubungan bekas suami dengan isteri tersebut telah betul-betul putus, sehingga dengan sendirinya isteri tidak berhak lagi menerima nafkah dari bekas suaminya, demikian sebaliknya suami tidak berkewajiban lagi memberi nafkah pada isterinya.
Undang-Undang Perkawinan dalam pasal 41 ayat (c) memberi ketentuan bahwa Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas isteri. Hal ini sesuai juga dengan Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 241.
4. Rujuk
4.1. Arti Rujuk
Rujuk adalah berarti kembali artinya kembali hidup sebagai suami-isteri antara laki-laki dan wanita yang melakukan perceraian dengan jalan talak raj’i selama masih dalam masa iddah tanpa pernikahan ba’in. Yang mempunyai hak rujuk adalah suami, sebagai imbangan dari hak talak yang dimilikinya. Ketentuan mengenai hak rujuk ini diatur dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 228.
4.2. Syarat-syarat Rujuk
Apabila bekas suami hendak merujuk bekas istrinya, hendaklah memenuhi syarat-syarat sebagia berikut:
a. Bekas isteri yang ditalak itu sudah pernah dicampuri. Sehingga perceraian yang terjadi di mana isteri belum pernah dicampuri oleh suami, tak memberikan hak rujuk kepada suami.
b. Harus dilakukan dalam masa iddah.
c. Harus disaksikan oleh dua orang saksi.
d. Talak yang dijatuhkan oleh suami tidak disertai ‘iwald dari pihak isteri.
e. Persetujuan isteri yang akan dirujuk.
4.3. Cara Pelaksanaan Rujuk
Cara pelaksanaan rujuk ini ada du pendapat, yakni:
a. Rujuk dengan perkataan, misalnya bekas suami berkata kepada bekas isterinya “aku rujuk kepada isteriku”. Dengan diucapkannya sighat rujuk ini, maka rujuk itu telah dianggap terjadi. Sighat rujuk yang digantungkan pada suatu syarat yang belum terjadi atau digantungkan pada masa yang akan datang, dianggap tidak sah.
b. Rujuk dengan perbuatan, ialah apabila suami mencampuri isterinya kembali, walaupun tidak dengan perkataan tertentu dianggap sah dan rujuknya telah terjadi.
5. Hadlanah (Mengasuh Anak)
Apabila terjadi perceraian di mana telah diperoleh keturunan dalam perkawinan itu, maka yang berhak mengasuh anak hasil perkawinan adalah ibu, atau nenek seterusnya ke atas. Tetapi mengenai pembiayaan untuk penghidupan anak itu, termasuk biaya pendidikannya adalah menjadi tanggungjawab anaknya.
Berakhir masa asuhan adalah pada waktu anak itu sudah bisa ditanya kepada siapa dia akan terus ikut. Hal ini mengakibatkan timbulnya hak asuh atas anak tersebut.
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian, khususnya mengenai pemeliharaan anak dan biaya pendidikannya, Undang-Undang Perkawinan mengaturnya di dalam pasal 41 ayat (a) dan (b) sebagai berikut:
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya semata-mataBaik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya semata-matadasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberikan keputusannya.
b. Bapak yang bertanggung-jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana dapat dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut. Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
6. Perceraian dalam Undang-Undang Perkawinan
6.1. Cara-cara Putusnya Perkawinan
Di dalam Undang-Undang perkawinan tidak diatur secara rinci mengenai cara-cara perceraian seperti yang diatur dalam Hukum Islam, melainkan hanya menyebut secara umum mengenai putusnya hubungan perkawinan ini dalam tiga golongan seperti yang tercantum dalam pasal 38 sebagai berikut:
a. Karena kematian salah satu pihak
Putusnya hubungan perkawinan karena kematian salah satu pihak tidak banyak menimbulkan persoalan karena putusnya perkawinan di sini bukan karena kehendak salah satu pihak, tetapi karena kehendak Tuhan.
b. Perceraian
Dalam pasal 39 ayat 1 disebutkan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan, setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha mendamaikan kedua belah pihak. Walaupun perceraian itu urusan pribadi, tetapi perlu ada campur tangan pemerintah karena demi menghindarkan tindakan sewenang-wenang terutama dari pihak suami dan juga demi kepastian hukum.
6.2. Alasan-alasan Perceraian
Berdasarkan pasal 39 ayat 2 beserta penjelasannya dan dipertegas lagi dalam pasal 19 P.P. No. 9/1975, alasa menggugat perceraian sebagai berikut:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selam 2 tahun berturut-turut tanpa ijin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiyaan berat yang membahaykan pihak lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri.
f. Antara suami-isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumahtangga.
6.3. Tatacara Perceraian
Berdasarkan pasal 39-41 Undang-Undang Perkawinan dan dalam Peraturan Pemerintah No. 9/1975 pasal 14-36, perceraian ada 2 macam yaitu:
a. Cerai talak
Tatacara tentang seorang suami yang hendak mentalak isterinya diatur dalam P.P. No. 9/1975 pasal 14-18 yang pada dasarnya dalah sebagai berikut:
· Seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama Islam yang akan menceraikan isterinya, mengajukan surat kepada Pengadilan Agama di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan isterinya disertai dengan alasan-alasannya serta meminta kepada Pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu. Di sini ditegaskan bahwa pemberitahuan itu harus dilakukan secara tertulis dan yang diajukan oleh suami tersebut bukanlah surat permohonan tetapi surat pemberitahuan. Setelah terjadi perceraian di muka Pengadilan, maka Ketua Pengadilan membuat surat keterangan tentang terjadinya perceraian.
· Setelah pengadilan menerima surat pembritahuan tersebut, kemudian setelah mempelajarinya, selambat-lambatnya 30 hari setelah menerima surat itu, Pengadilan memanggil suami dan isteri yang akan bercerai itu, untuk dimintai penjelasan.
· Setelah Pengadilan mendapat penjelasan dari suami-isteri, ternayat memang terdapat alasan-alasan untuk bercerai dan Pengadilan berpendapat pula bahwa antara suami-isteri yang bersangkutan tidak mungkin lagi didamaikan untuk hidup rukun lagi dalam rumahtangga, maka Pengadilan memutuskan untuk mengadakan sidang untuk menyaksikan perceraian itu.
· Sidang Pengadilan tersebut, setelah meneliti dan berpendapat adanya alasan-alasan untuk perceraian dan setelah berusaha untuk mendamaikan kedua belah pihak dan tidak berhasil, kemudian menyaksikan perceraian yang dilakukan oleh suami itu di dalam sidang tersebut.
· Kemudian Ketua Pengadilan memberi surat keterangn tentang terjadinya perceraian tersebut, dan surat keterangan tersebut dikirimkan kepada Pegawai Pencatat di tempat perceraian itu terjadi untuk diadakan pencatatan perceraian.
· Perceraian itu terjadi terhitung pada saat terjadi perceraian itu dinyatakan di depan sidang Pengadilan.
b. Cerai gugat
Cerai gugat adalah perceraian yang disebabkan oleh adanya suatu gugatan lebih dahulu oleh salah satu pihak kepada Pengadilan dan perceraian itu terjadi dengan suatu putusan Pengadilan.
Tatacara perceraian ini diatur dalam P.P. No. 9/1975 pasal 20-36 yang pada dasarnya adalah sebagai berikut:
· Pengajuan gugatan
ü Gugatan perceraian diajukan oleh suami atau isteri atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat tergugat.
ü Dalam hal tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tidak diketahui atau tidak mempunyai kediaman yang tetap, begitu juga tergugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman penggugat.
ü Demikian juga gugatan perceraian dengan alasan salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa ijin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau hal lain di luar kemampuannya, gugatan diajukan kepada Pengadilan di tempat penggugat.
· Pemanggilan
a) Pemanggilan harus disampaikan kepda pribadi yang bersangkutan apabila tidak dapat dijumpai, panggilan disampaikan melalui surat atau yang dipersamakan dengannya. Pemanggilan ini dilakukan setiap akan dilakukan persidangan.
b) Yang melakukan pemanggilan tersebut adalah jurusita (Pengadilan Negeri) dan petugas yang ditunjuk (Pengadilan Agama).
c) Panggilan tersebut harus dilakukan dengan cara yang patut dan sudah diterima oleh para pihak atau kuasanya selambat-lambatanya 3 hari sebelum sidang dibuka. Panggilan kepada tergugat harus dilampiri dengan salinan surat gugat.
d) Pemanggilan bagi tergugat yang tempat kediamannya tidak jelas atau tidak mempunyai tempat kediaman tetap, panggilan dilakukan dengan cara menempelkan gugatan pada papan pengumuman di Pengadilan dan mengumumkan melalui satu atau beberapa suratkabar atau mass media lain yang ditetapkan oleh Pengadilan yang dilakukan dua kali dengan tenggang waktu satu bulan antara pengumuman pertama dan kedua.
e) Apabila tergugat berdiam di luar negeri pemanggilannya melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat.
· Persidangan
a) Persidangan untuk memeriksa gugatan perceraian harus dilakukan oleh Pengadilan selambat-lambatnya 30 hari setelah diterimanya surat gugatan di Kepaniteraan. Khusus bagi gugatan yang tergugatnya bertempat kediaman di luar negeri, persidangan ditetapkan sekurang-kurangnya 6 bulan terhiitung sejak dimasukkannua gugatan perceraian itu.
b) Para pihak yang berpekara dapat menghadiri sidang atau didampingi kuasanya atau sama sekali menyerahkan kepada kuasanya dengan membawa surat nikah/rujuk, akta perkawinan, surat keterangan lainnya yang diperlukan.
c) Apabila tergugat tidak hadir dan sudah dipanggil sepatutnya, maka gugatan itu dapat diterima tanpa hadirnya tergugat, kecuali kalau gugatan itu tanpa hak atau tidak beralasan.
d) Pemeriksaan perkara gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup.
· Perdamaian
a) Pengadilan harus berusaha untuk mendamaikan kedua belah pihak baik sebelum maupun selama persidangan sebelum gugatan diputuskan.
b) Apabila terjadi perdamaian maka tidak boleh diajukan gugatan perceraian baru berdasarkan alasan-alasan yang ada sebelum perdamaian dan telah diketahui oleh penggugat pada waktu dicapainya perdamaian.
c) Dalam usaha mendamaikan kedua belah pihak Pengadilan dapat meminta bantuan kepada orang lain atau badan lain yang dianggap perlu.
· Putusan
a) Pengucapan putusan Pengadilan harus dilakukan dalam sidang terbuka.
b) Putusan dapat dijatuhkan walaupun tergugat tidak hadir, asal gugatan itu didasarkan pada alasan yang telah ditentukan.
c) Perceraian dianggap terjadi dengan segala akibat-akibatnya terdapat perbedaan antara orang yang beragama Islam dan yang lainnya. Bagi yang beragama Islam perceraian dianggap terjadi sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Sedang bagi agama lain terhitung sejak saat pendaftarannya pada daftar pencatatan kantor pencatatan oleh pegawai pencatat.
6.4. Akibat Perceraian
Hal-hal apa yang perlu dilakukan oleh pihak isteri maupun suami setelah terjadi perceraian diatur dalam pasal 41 Undang-Undang Perkawinan yang pada dasarnya adalah sebagai berikut:
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memlihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya.
b. Biaya pemeliharaan dan pendidikan anak-anak menjadi tanggungjawab pihak bapak, kecuali dalam kenyataannya bapak dalam keadaan tidak mampu sehingga tidak dapat melakukan kewajiban tersebut, maka Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas isteri.
PUTUSNYA PERKAWINAN SERTA AKIBATNYA
Pasal 38
Perkawinan dapat putus karena :
a. kematian,
b. perceraian dan
c. atas keputusan Pengadilan.
Pasal 39
(1). Perceraian hanya dapat dilakukan didepan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
(2). Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.
(3). Tatacara perceraian didepan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.
Pasal 40
(1). Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan.
(2). Tatacara mengajukan gugatan tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.
Pasal 41
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah :
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya;
b. Bapak yang bertanggung-jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.
BAB IX
KEDUDUKAN ANAK
Pasal 42
Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.
Pasal 43
(1). Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
(2). Kedudukan anak tersebut ayat (1) diatas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 44
(1). Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan anak itu akibat daripada perzinaan tersebut.
(2). Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan.

Perkawinan

Uraian tentang hak dan kewajiban suami dan istri dalam ikatan perkawinan, putusnya perkawinan, talak,kewajiban ORTU terhadap anak, harta bersama (gono gini)

Tuesday, June 24, 2008

Putusnya Perkawinan di lihat dari Kompilasi Hukum Islam dan UU no.1 tahun 1974 tentang Perkawinan

Suatu perkawinan tentunya dibangun dengan harapan untuk mewujudkan keluarga yang bahagia,kekal dan abadi sampai akhir hayat. Akan tetapi kenyataannya perkawinan tersebut terkadang tidak selamanya berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan. Banyak perkawinan berakhir di tengah jalan.Berakhirnya perkawinan biasanya disebut juga dengan putusnya perkawinan.
Secara garis besar menurut Kompilasi Hukum Islam dan UU no.1 tahun 1974 tentang Perkawinan, putusnya perkawinan disebabkan oleh beberpa hal, yaitu: kematian, perceraian dan keputusnya pengadilan.
Perceraian itu sendiri merupakan hal yang dibolehkan namun dibenci oleh Allah SWT. Putusnya perkawinan yang disebabkan oleh perceraian biasanya disebabkan oleh talaq atau berdasarkan gugatan cerai.
Arti talaq itu sendiri berarti membuka ikatan atau membatalkan perjanjian. Secara umum talaq diartikan sebagai peceraian baik yang dijatuhkan oleh suami, yang ditetapkan oleh hakim, maupun perceraian yang jatuh dengan sendirinya atau perceraian karena meninggalnya suami atau istri. Sedangkan secara khusus, talaq diartikan sebagai perceraian yang dijatuhkan oleh suami. (Mulati, 1999)
Dalam pasal 115 Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan pasal 39 ayat (1) UU no.1 tahun 1974 tentang Perkawinan dijelaskan bahwa putusnya perkawinan yang disebabkan oleh perceraian hanya bisa dilakukan di hadapan sidang pengadilan, tentunya setelah pengadilan mengadakan usaha untuk mendamaikan kedua belah pihak terlebih dahulu namun tidak berhasil. Pasal 39 ayat (2) UU no.1 tahun 1974 tentang Perkawinan juga memaparkan bahwa untuk melakukan perceraian harus didasari oleh alasan yang cukup bahwa kedua belah pihak tidak dapat lagi hidup rukun sebagai suami-istri.
Adapun alasan-alasan dari terjadinya perceraian di paparkan dalam Pasal 116 UU no.1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal tersebut berbunyi:
1.           salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
2.           salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alas an yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya.
3.           salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun  atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
4.           salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain.
5.           salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.
6.           antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
7.           suami melanggar taklik-talak.
8.           peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.
Menurut hukum Islam suami memiliki hak untuk menjatuhkan talaq kepada istrinya sesuai dengan alasan-alasan yang terdapat dalam UU Perkawinan dan KHI. Di Pengadilan Agama maupun di Pengadilan Negeri dikenal istilah Cerai Talaq, sedangkan untuk putusan pengadilannya sendiri dikenal juga istilah cerai gugat. Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa cerai talaq adalah cerai yang dijatuhkan oleh suami kepada istri. Sedangkan cerai gugat adalah cerai yang dijatuhkan oleh istri kepada suami. Disinilah letak perbedaannya.
Pernyataan talaq seorang suami kepada istrinya haruslah dilegalisasi di depan pengadilan. Setelah pernyataan talaq tersebut dilegalisasi di hadapan pengadilan kemudian pengadilan memberikan Legal Formal, yaitu pemberian surat sah atas permohonan talaq dari suami. Pemberian Legal formal ini tentunya mengacu pada alasan-alasan cerai pada UU Perkawinan. Pada proses pemberian legal formal ini, hakim memberikan jangka waktu kepada suami untuk memikirkan kembali pernyataan suami untuk menjatuhkan talaq. Pada dasarnya pernyataan talaq tidak boleh diucapkan pada saat suasana hati diliputi emosi. Oleh karena itu sejak dikeluarkannya Surat Edaran dari Mahkamah Agung (SEMA) no.1 tahun 2002 Pengadilan Agama diharuskan memberikan sarana mediasi dan mengoptimalkan lembaga mediasi tersebut bagi pasangan suami-istri yang akan bercerai.
Dengan pemberlakuan lembaga mediasi ini banyak permohonan talaq yang ditolak oleh Pengadilan Agama. Ada banyak alasan yang membuat Pengadilan Agama menolak permohonan talaq, antara lain : 1) karena permohonan tersebut tidak sesuai dengan ketentuan UU; 2) positanya obscuur (tidak jelas); 3) antara posita dan petitumnya bertentangan.
Harus diakui bahwa dengan adanya lembaga mediasi dan difungsikannya secara optiomal lembaga tersebut membawa banyak dampak positif. Lembaga mediasi ini selalu berpulang pada syar’i. Al-Qur’an selalu kembali pada lembaga hakam itu. Jadi, hakam dari pihak suami dan hakam dari pihak istri. Jadi, setiap perkara yang bisa diarahkan dengan menggunakan lembaga hakam dan mengarah pada syiqoq, sebisa mungkin menggunakan lembaga mediasi. Lembaga mediasi ini maksudkan agar permohonan cerai suami-istri dapat berakhir dengan berdamainya kedua belah pihak dengan kata lain suami-istri tersebut tidak jadi meneruskan permohonan cerai tersebut.
Tata cara pengajuan permohonan dan gugatan perceraian bisa secara tertulis maupun secara lisan. Apabila suami mengajukan permohonan talak, maka permohonan tersebut diajukan di tempat tinggal si istri. Sedangkan apabila istri mengajukan gugatan cerai, gugatan tersebut juga diajukan ke pengadilan dimana si istri tinggal. Dalam hal ini, kaum istri memang mendapatkan kemudahan sebagaimana diatur dalam hukum Islam. Mengenai tempat pengajuan gugatan perceraian mengacu pada pasal 118 HIR. (Thohir, 2003)
Setelah cerai, maka bagi istri berlaku masa tunggu (masa iddhah), yaitu selama tiga nulam sepuluh hari. Sedangkan bagi wanita yang sedang hamil, maka masa iddhah nya adalah sampai dia melahirkan. Masa idhah tersebut berlaku ketika putusan hakim berkekuatan hukum tetap. Sedangkan untuk kasus cerai talak, maka masa iddhah berlaku setelah permohonan talak suami dilegalkan oleh Pengadilan Agama.
Apabila masa iddhah telah lewat dan mantan suami istri ingin kembali rujuk, maka mereka pun dapat kembali rujuk. Kecuali suami telah menjatuhkan talaq tiga kepada istrinya. Apabila hal itu terjadi maka suami tidak dapat lagi rujuk dengan istrinya kecuali istrinya telah menikah lagi dengan pria lain kemudian pria tersebut menceraikan si istri barulah suami terdahulunya dapat menikahi kembali si istri. Secara umum, rujuk artinya adalah kembali.
Pasal 41 UU no.1 tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah : a). Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya; b). Bapak yang bertanggung-jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut; c). Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.
Melihat pasal ini jelas sekali bahwa walaupun telah terjadi perceraian masing-masing pihak dalam hal ini suami dan istri tetap memiliki tanggungjawab terhadap anak dari hasil perkawinan mereka. Sang suami pun tetap memiliki tanggungjawab terhadap bekas istrinya selama bekas istrinya belum memiliki suami lagi.
Adanya UU Perkawinan dan KHI dimaksudkan agar kita bersama-sama lebih dapat memaknai arti dari suatu lembaga perkawinan sehingga kita, khususnya para pasangan suami-istri tidak lekas-lekas memutuskan untuk bercerai ketika dirasa sudah tidak ada lagi keharmonisan dalam biduk rumah tangga.

1 komentar:

  1. Casino at Jammy Monkey's Gold - JTM Hub
    Experience casino at 부천 출장마사지 Jammy Monkey's Gold, home to the largest collection of live dealer tables 제천 출장안마 in the world. 의정부 출장샵 Featuring a 파주 출장마사지 wide variety of 대전광역 출장마사지 games

    BalasHapus